L.E.T.E

BLOG L.E.T.E BY CUMA ISENG TULISLAH APA YANG INGIN KALIAN TULIS!! ASAL JANGAN SARA ATO MEMANCING KERIBUTAN, JUST CONTACT US

14 Agu 2011

Tawakkal dan Usaha Manusia

Perintah bertawakkal bukannya menganjurkan agar seseorang tidak berusaha atau mengabaikan hukum-hukum “sebab-akibat”. Tidak! Bertawakkal ialah menjadikan Allah sebagai wakil, sehingga mengharuskan seseorang meyakini bahwa Allah yang mewujudkan segala sesuatu yang terjadi di alam raya ini, sebagaimana dia harus menjadikan kehendak dan tindakannya sejalan dengan kehendak dan ketentuan Allah Swt. Seorang muslim dituntut untuk berusaha sambil berdoa dan setelah itu ia dituntut lagi untuk berserah diri kepada Allah. Ia dituntut melaksanakan kewajibannya, kemudian menanti hasilnya, sebagaimana kehendak dan ketetapan Allah.

Anda harus berusaha dalam batas-batas yang dibenarkan, disertai dengan ambisi yang meluap-luap untuk meraih sesuatu. Tetapi, jangan ketika anda gagal meraihnya, anda meronta atau berputus asa serta melupakan anugerah Tuhan yang selama ini telah anda capai.
Tawakkal adalah buah iman kepada Allah Yang Maha Kuasa, karena itu kesempurnaan iman ditandai oleh tawakkal. Dalam Surah Al-Mâidah [5]: 23 yang penulis kutip di atas, jelas sekali keterkaitan antara iman dan tawakkal dalam firman-Nya: “Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang-orang mukmin”. Demikian juga firman-Nya dalam Surah Yûnus [10]: 84. Di sana Allah mengabadikan ucapan Nabi Musa As. yang berkata kepada kaumnya:
"Jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri."
Ada dua peristiwa yang dialami Nabi Muhammad Saw. bersama Sayyidina Abu Bakar Ra. yang dapat menjadi penjelasan yang sangat gamblang tentang usaha dan tawakkal, dan tempatnya masing-masing. Yakni, peristiwa hijrah dan peristiwa perang Badr.
Dalam peristiwa hijrah ketika Nabi Saw. bersama Sayyidina Abubakar berada dalam gua, di mana saat itu juga sekelompok kaum musyrik yang mengejar mereka telah berada di mulut gua, ketika itu Sayyidina Abu Bakar sangat gelisah, namun Nabi Saw. sangat tenang. Beliau bersabda menenangkan sahabatnya, sebagaimana diabadikan al-Qur'an: “Jangan bersedih (dan jangan takut) sesungguhnya Allah bersama kita". Demikian dalam peristiwa hijrah, tetapi dalam peristiwa perang Badr, keadaan Nabi dan sahabat beliau itu bertolak belakang. Di sana Nabi Saw. sangat gelisah, berdoa dan berdoa, sampai-sampai terjatuh sorban beliau. Namun, Abu Bakar Ra. tampil tenang dan menenangkan beliau, bahkan menganjurkan untuk berhenti berdoa. Dua sikap Nabi Saw. yang berbeda itu adalah sikap yang diajarkannya, sebaliknya tanpa mengurangi sedikitpun penghargaan kepada sahabat Nabi yang agung Sayyidina Abu Bakar Ra. atau mengurangi jasa-jasa beliau, kita berkata bahwa sikap Sayyidina Abubakar itu adalah sikap yang kurang tepat.

Dalam peristiwa hijrah di mana mereka berada dalam gua, maka ketika itu tidak ada lagi usaha yang dapat mereka lakukan -- setelah sebelumnya melakukan segala yang dapat mereka lakukan -- seperti perencanaan yang matang, penelusuran jalur menuju Madinah yang tidak biasa ditempuh, penyiapan kendaraan dan tenaga penunjuk jalan (informan), penyiapan konsumsi, dan sebagainya. Sehingga, ketika tidak ada usaha lagi, maka di sanalah tempat berserah, sambil meyakini bahwa apapun yang terjadi, maka Dia yang menjadi "wakil" akan bertindak dengan tindakan yang terbaik. Seandainya yang terjadi ketika itu adalah penangkapan bahkan pembunuhan mereka, maka itulah pilihan terbaik.

Peristiwa Badr berbeda dengan peristiwa hijrah. Disana Nabi Saw. bersama sahabat beliau belum terdesak, masih ada usaha yang dapat mereka lakukan dan ini kemudian terbukti bahwa mereka berusaha membela dengan berperang. Bisa jadi juga kekuatiran Nabi Saw. itu berkaitan dengan orang banyak (313 pasukan muslim) yang bisa gugur yang berakibat seperti doa Nabi Saw. ketika itu, "Ya Allah, jika Engkau membinaskan kelompok ini, maka Engkau tidak akan disembah lagi di persada ini".
Seorang muslim berkewajiban untuk menimbang dan memperhitungkan segala segi sebelum ia melangkahkan kaki. Tetapi, bila pertimbangannya keliru, atau perhitungannya meleset, maka ketika itu (akan tampil dihadapannya) Allah Swt. yang dijadikannya "Wakil", sehingga ia tidak larut dalam kesedihan dan keputusasaan, karena ketika itu ia yakin bahwa "Wakilnya" telah bertindak dengan sangat bijaksana dan menetapkan untuknya pilihan yang terbaik. "Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula sebaliknya) kamu mencintai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui" (QS. 2: 216).
Dengan perintah bertawakkal, al-Qur'an menghendaki agar umat Islam hidup dalam realitas yang menunjukkan bahwa tanpa usaha tak mungkin tercapai harapan, dan tak ada gunanya berlarut dalam kesedihan jika realita tidak dapat diubah lagi.

"Hadapilah kenyataan. Jika kenyataan itu tidak berkenan di hati Anda atau tidak sesuai dengan harapan Anda, maka usahakanlah agar Anda menerimanya." Demikian ungkapan seorang 'arif.

Tentu masih banyak uraian dan aspek dari tawakkal yang dikemukakan oleh para pakar, termasuk aneka pengertian dan penerapannya. Namun demikian, semoga apa yang dipaparkan di sini dapat memberi gambaran umum tentang makna tawakkal serta kesalahpahaman umum yang terjadi selama ini. Demikian, Wa Allah A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar